Kamis, 04 Desember 2008

perang jamal

Apakah 'Aisyah Berniat Memerangi 'Ali dalam Perang Jamal ?

Oleh : Yusuf bin ’Abdillah bin Yusuf Al-Wabil


Di antara fitnah yang terjadi setelah terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan radliyallaahu ’anhu adalah terjadinya perang Jamal yang terkenal antara ‘Ali bin Abi Thalib dengan ‘Aisyah, Thalhah, dan Az-Zubair radliyallaahu ‘anhum. Kronologi peristiwa ini adalah ketika terbunuhnya ‘Utsman, maka orang-orang mendatangi ‘Ali di Madinah dimana mereka berkata kepadanya : ”Ulurkan tanganmu, kami akan berbaiat kepadamu”. ‘Ali berkata : “Tunggu dulu, sampai orang-orang bermusyawarah”. Maka sebagian di antara mereka berkata : “Apabila orang-orang kembali ke negerinya masing-masing setelah terbunuhnya ‘Utsman, sementara itu belum ada seorang pun yang menggantikan kedudukannya (sebagai khalifah), niscaya akan terjadi perselisihan dan kerusakan umat”. Mereka terus-menerus membujuk ‘Ali agar mau menerima baiat, dan akhirnya ‘Ali pun menerimanya. Di antara orang yang membaiatnya itu adalah Thalhah dan Az-Zubair radliyallaahu ‘anhuma. Kemudian, mereka berdua pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah ‘umrah, dan di sana mereka bertemu dengan ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa. Setelah membicarakan masalah terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan, mereka pergi ke Bashrah untuk menuntut ‘Ali agar menyerahkan orang yang telah membunuh ‘Utsman [1] ; akan tetapi ‘Ali tidak memenuhi permintaan mereka. Hal itu dikarenakan ‘Ali masih menunggu para wali dari keluarga ‘Utsman untuk menyelesaikan perkara kepadanya; yaitu, apabila telah dapat ditetapkan orang yang membunuh ‘Utsman, maka akan dijatuhkan hukum qishash padanya. Maka mereka pun (yaitu ‘Aisyah, Thalhah, dan Az-Zubair dengan ‘Ali radliyallaahu ‘anhum) berbeda pendapat dengan sebab ini. Sementara itu, orang-orang yang tertuduh sebagai pembunuh ‘Utsman – yaitu mereka yang menentang ‘Utsman - merasa khawatir bahwa ‘Ali, ‘Aisyah, Thalhah, dan Az-Zubair bersepakat untuk menghukum bunuh mereka. Maka mereka pun mengobarkan peperangan antara dua kelompok tadi [2].

Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah mengkhabarkan kepada ‘Ali bahwasannya antara dia dan ‘Aisyah akan timbul permasalahan. Dalam sebuah hadits dari Abu Raafi’ bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepada ‘Ali bin Abi Thalib :

إنه سيكون بينك وبين عائشة أمر. قال : أنا يا رسول الله ؟. قال : نعم. قال : فأنا أشقاهم يا رسول الله ؟. قال : لا، ولكن إذا كان ذلك، فارددها إلى مأمنها.

“Bahwasannya antara kamu dan ‘Aisyah nanti akan ada satu permasalahan”. ’Ali bertanya : ”Saya kah wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : ”Ya”. ’Ali kembali bertanya : ”Apakah saya orang yang celaka (dalam permasalahan itu) ya Rasulullah ?”. Beliau menjawab : ”Tidak, akan tetapi jika hal itu nanti terjadi, maka kembalikanlah ia (’Aisyah) ke tempatnya yang aman”.[3]

Dan hal yang menunjukkan bahwasannya ’Aisyah, Thalhah, dan Az-Zubair tidak keluar untuk mengadakan peperangan (terhadap ’Ali), melainkan mereka hanya bertujuan untuk mendamaikan (perselisihan) di antara kaum muslimin adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dari jalan Qais bin Abi Haazim, ia berkata :

لما بلغت عائشة رضي الله عنها بعض ديار بني عامر، نبحت عليها الكلاب. فقالت : أي ماء هذا ؟. قالوا : الحوأب. قالت : ما أظنني إلا راجعة. فقال لها الزبير : لا بعد، تقدمي فيراك الناس فيصلح الله ذات بينهم. فقالت : ما أظنني إلا راجعة، سمعت رسول ٰلله صلى الله عليه وسلم يقول : كيف بإحداكن إذا نبحتها كلاب الحوأب

"Ketika ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa sampai di sebagian perkampungan Bani ’Amir, tiba-tiba anjing-anjing (di tempat tersebut) menggonggong. Berkata ’Aisyah : ”Perairan apakah ini ?”. Mereka pun menjawab : ”Al-Hauab” [4]. ’Aisyah berkata : ”Aku kira aku harus kembali pulang”. Lalau Az-Zubair berkata kepadanya : ”Tidak, bahkan engkau harus maju hingga manusia melihatmu dan (dengan itu) Allah akan mendamaikan (perselisihan) di antara mereka”. ’Aisyah berkata : ”Namun aku kira aku harus kembali, karena aku mendengar Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Bagaimana keadaan salah seorang di antara kalian apabila anjing-anjing menggonggong kepadanya ?”.[5]

Dan dalam riwayat Al-Bazzar dari Ibnu ’Abbas, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam berkata kepada istri-istrinya :

أيتكن صاحبة الجمل الأدبب، تخرج حتى تنبحها كلاب الحوأب، يقتل عن يمينها وعن شمالها قتلى كثيرة، وتنجو من بعد ما كادت

”Siapakah di antara kalian yang mempunyai onta adbab [6], lantas ia keluar (dengan mengendarainya) sehingga anjing-anjing Hauab menggonggong kepadanya. Banyak orang yang terbunuh di samping kanan dan kirinya, dan dia sendiri selamat setelah sebelumnya hampir terbunuh”.[7]

Ibnu Taimiyyah berkata :

إن عائشة لم تخرج للقتال، وإنما خرجت بقصد الإصلاح بين المسلمين، وظنت أن في خروجها مصلحة للمسلمين، ثم تبين لها فيما بعد أن ترك الخروج كان أولى، فكانت إذا ذكرت خروجها، تبكي حتى تبل خمارها، وهكذا عامة السابقين ندموا على ما دخلوا فيه من القتال، فندم طلحة والزبير وعلي رضي الله عنهم أجمعين.ولم يكن يوم الجمال لهؤلاء قصد في القتال، ولكن وقع الاقتتال بغير اختيارهم، فإنه لما تراسل عليا وطلحة والزبير، وقصدوا الاتفاق على المصلحة، وأنهم إذا تمكنوا، طلبوا قتلة عثمان أهل الفتنة، وكان علي غير راض بقتل عثمان، ولا معينا عليه، كما كان يحلف، فيقول : والله ما قتلت عثمان ولا مالأتُ على قتله. وهو الصادق البار في يمينه، فخشي القتلة أن يتفق علي معهم على إمساك القتلة، فحملوا على عسكر طلحة والزبير، فظن طلحة والزبير أن عليا حمل عليهم، فحملوا دفعا عن أنفسهم، فظن علي أنهم حملوا عليه، فحمل دفعا عن نفسه، فوقعت الفتنة بغير اختيارهم، وعائشة راكب، لا قاتلت، ولا أمرت بالقتال، وهكذا ذكره غير واحد من أهل المعرفة بالأخبار

”Sesungguhnya ’Aisyah tidak keluar untuk berperang, melainkan dengan tujuan untuk mendamaikan kaum muslimin. Dia mengira bahwa keluarnya itu akan membawa kemaslahatan bagi kaum muslimin. Namun yang tampak olehnya setelah itu bahwa seandainya ia tidak keluar maka hal itu lebih baik. Oleh karena itu, jika ia teringat keluarnya (menuju Bashrah) itu, ia menangis hingga membasahi kerudungnya.[8] Demikian pula halnya dengan kaum muslimin terdahulu, mereka merasa menyesal karena terlibat peperangan itu. Thalhah, Az-Zubair, dan ’Ali radliyallaahu ’anhum; mereka semua juga merasa menyesal.

Dan peristiwa Jamal itu pada mulanya tidak meraka maksudkan untuk berperang, akan tetapi peperangan itu terjadi di luar kehendak mereka. Ketika ’Ali, Thalhah, dan Az-Zubair saling surat menyurat dan berkeinginan mencari kesepakatan untuk mencapai kemaslahatan, dan ketika mereka telah bertekad mencari pencetus fitnah pembunuh ’Utsman; ’Ali dalam keadaan tidak ridla dengan terbunuhnya ’Utsman dan tidak pula membantu membunuhnya sebagaimana diucapkan dalam sumpahnya : ”Demi Allah, aku tidak membunuh ’Utsman dan tidak pula berkomplot membunuhnya” – sedang ’Ali itu orang yang jujur dan benar sumpahnya. Maka, para pembunuh itu takut apabila ’Ali bersepakat dengan mereka untuk menangkap para pembunuh itu. Lalu, mereka menghasut laskar Thalhah dan Az-Zubair. Kemudian Thalhah dan Az-Zubair mengira bahwa ’Ali telah menyerang mereka, lalu keduanya membela diri. Begitu juga ’Ali mengira bahwa mereka berdua telah menyerangnya, lalu ia pun membela diri. Maka terjadilah fitnah (peperangan) tanpa diinginkan oleh mereka. Dan pada waktu itu, ’Aisyah sedang naik kendaraan (onta). Tidak ikut berperang, tidak pula memerintahkan berperang. Demikianlah yang dikemukakan oleh para ahli ma’rifah tentang sejarah” [selesai perkataan Ibnu Taimiyyah].[9]


Selesai ditulis oleh Abul-Jauzaa’, hari Sabtu ba’da ’Asar, 15.50, 15 Nopember 2008.
Dari buku Asyraathus-Saa’ah karya Yusuf bin ’Abdillah bin Yusuf Al-Wabil, Daar Ibnil-Jauziy, hal. 98-102 dengan beberapa tambahan.



Catatan kaki :

[1] Abu Bakr bin Al-‘Arabiy mengemukakan pendapatnya dalam kitanya Al-‘Awaashim minal-Qawaashim, bahwasannya perginya mereka ke Bashrah hanyalah untuk mendamaikan kaum muslimin. Ia mengatakan :

هذا هو الصحيح، لا شيء سواه، وبذلك وردت صحاح الأخبار

“Inilah yang benar, tidak ada lagi selain itu. Dan demikianlah berita-berita yang shahih”.

[2] Lihat perincian penjelasan tersebut dalam Fathul-Bari 13/54-59.

[3] Musnad Al-Imam Ahmad 2/393 – beserta hamisy (catatan pinggir) Muntakhab Kanzil-’Ummaal.

Hadits ini adalah hasan. Lihat Fathul-Bari 13/55.

Al-Haitsami berkata : ”Diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bazzar, dan Ath-Thabarani. Para perawinya adalah terpercaya” [Majma’uz-Zawaaid 7/234].

[4] Al-Hauab adalah sebuah tempat yang terletak dekat Bashrah. Ia merupakan salah satu mata air bagi bangsa Arab di jaman Jahimiyyah. Tempat ini berada di jalan yang dilalui orang-orang yang datang dari Makkah ke Bashrah. Tempat ini disebut Hauab sebagai nisbat kepada Abu Bakr bin Kilaab Al-Hauab. Atau dinisbatkan kepada Al-Hauab binti Kalb bin Wabrah Al-Qadla’iyyah.

Lihat : Mu’jamul-Buldaan 2/314 dan catatan kaki Muhibbuddin Al-Khaathib atas kitab Al-’Awaashim minal-Qawaashim hal. 148.

[5] Mustadrak Al-Hakim 3/120.

Ibnu Hajar berkata : “Sanadnya sesuai syarat As-Shahih”. Lihat : Fathul-Bari 13/55.

Al-Haitsami berkata : ”Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Ya’la, dan Al-Bazzar; rijalnya Ahmad adalah rijal Ash-Shahih” [Majma’uz-Zawaaid 7/234].

Hadits tersebut tercantum dalam Musnad Al-Imam Ahmad 6/52 dengan hamisy (catatan pinggir)-nya Mutakhab Kanzil-’Ummaal.

[6] Al-Adbab artinya yang banyak bulunya di bagian muka. Lihat : An-Nihayah oleh Ibnul-Atsir 2/96.

[7] Fathul-Bari 13/55.

Ibnu Hajar berkata : “Para perawinya terpercaya”.

Hadits “Al-Hauab” tersebut diingkari oleh Al-Imam Abu Bakr bin Al-‘Arabiy dalam kitabnya Al-‘Awaashim minal-Qawaashim (hal. 161) dimana hal itu diikuti oleh Asy-Syaikh Muhibbuddin Al-Khathiib dalam catatan kaki kitab Al-‘Awaashim. Beliau menyebutkan alasannya bahwa hadits ini tidak terdapat dalam kitab-kitab Islam yang mu’tabar.

Akan tetapi hadits itu shahih. Dishahihkan oleh Al-Haitsami dan Ibnu Hajar sebagaimana yang telah lewat (penyebutannya). Al-Hafidh berkata dalam Al-Fath (13/55) ketika mengomentari hadits Al-Hauab : “Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Ya’laa. Al-Bazzar, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim. Sanadnya sesuai dengan syarat Ash-Shahih”.

Al-Albani menshahihkannya dalam Silsilah Al-Ahaadits Ash-Shahihah, dan ia membantah pihak-pihak yang mencela keshahihan hadits ini; serta ia jelaskan para imam yang telah mengeluarkan hadits tersebut.

Lihat : Silsilah Ash-Shahihah no. 475.

[8] Az-Zaila’i berkata :

وقد أظهرت عائشة الندم، كما أخرجه ابن عبد البر في ((كتاب الاستعاب)) عن ابن أبي عتيق - وهو عبد الله بن محمد بن عبد الرحمن بن أبي بكر الصديق - قال : قالت عائشة لابن عمر : يا أبا عبد الرحمن، ما منعك أن تنهاني عن مسيري ؟. قال : رأيت رجلا غلبت عليك - يعني : ابن الزبير -. فقالت : أما والله، لو نهيتني ما خرجت

“Telah nampak rasa penyesalan pada diri ‘Aisyah, sebagaimana sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam kitab Al-Isti’ab dari Ibnu Abi ‘Atiq – ia adalah ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdirrahman bin Abi Bakr Ash-Shiddiq – ia berkata : ‘Aisyah pernah berkata kepada Ibnu ‘Umar : “Wahai Abu ‘Abdirrahman, apa yang mencegahmu untuk melarangku pergi dalam perjalananku (menuju Bashrah) ?”. Ibnu ‘Umar berkata : “Aku melihat seorang laki-laki yang telah menguasai dirimu – yaitu Ibnuz-Zubair”. ‘Aisyah berkata : “Jka saja – demi Allah – engkau melarangku, niscaya aku tidak akan pergi” [Nashbur-Rayah 4/69-70] – Abul-Jauzaa’.

Adz-Dzahabi berkata :

وكانت تحدث نفسها أن تدفن في بيتها فقالت إني أحدثت بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم حدثا ادفنوني مع أزواجه فدفنت بالبقيع رضي الله عنها قلت تعني بالحدث مسيرها يوم الجمل فإنها ندمت ندامة كلية وتابت من ذلك على أنها ما فعلت ذلك إلا متأولة قاصدة للخير كما اجتهد طلحة بن عبيد الله والزبير بن العوام وجماعة من الكبار رضي الله عن الجميع .......قالت عائشة إذا مر ابن عمر فأرونيه فلما مر بها قيل لها هذا ابن عمر فقالت يا أبا عبد الرحمن ما منعك أن تنهاني عن مسيري قال رأيت رجلا قد غلب عليك يعني ابن الزبير

”Dahulu ‘Aisyah berkeinginan untuk dikuburkan di dalam rumahnya, kemudian beliau berkata : ‘Sesungguhnya aku telah berbuat kesalahan sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kuburkanlah aku bersama istri-istri beliau lainnya di kuburan Baqi’’. Aku (yaitu Adz-Dzahabi) berkata : “Yang beliau maksud dengan kesalahan ialah kepergiannya pada tragedi perang Jamal, karena sesungguhnya beliau amat menyesali kepergiannya itu, dan beliau bertaubat darinya. Padahal beliau melakukannya atas dasar ijtihad dan bertujuan baik, sebagaimana Thalhah dan Az-Zubair bersama beberapa pembesar sahabat juga telah berijtihad, semoga Allah senantiasa meridhai mereka semua.” (Kemudian Imam Adz-Dzahabi menukilkan dari sebuah kisah, yaitu) pada suatu saat ‘Aisyah berpesan : ”Bila Ibnu Umar lewat, hendaknya kalian tunjukkanlah dia kepada aku”. Dan ketika Ibnu Umar telah melintas, maka dikatakan kepada ’Aisyah : ”Inilah Ibnu Umar” ; maka ia pun berkata kepadanya: “Wahai Abu Abdirrahman, apa yang menghalangimu untuk mencegahku dari kepergianku (pada tragedi perang Jamal)?” Beliau menjawab : “Aku melihat bersamamu seorang lelaki yang telah menguasai dirimu, yaitu Ibnu Zubair.” [Siyaru A’alamin- Nubalaa’ 2/324 no. 193; Maktabah Al-Misykah] – Abul-Jauzaa’.

[9] Minhajus-Sunnah 2/185.

[pada kitab terbitan Universitas Muhammad bin Su’ud, cetakan I/1406, , tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim : 4/316-317 – Abul-Jauzaa’

Jumat, 24 Oktober 2008

hadits tentang surat yasin

Hadist-hadist Tentang Keutamaan Surah Yasin, Satupun Tidak Ada yang Shohih (Bag. 1)
Ditulis pada Januari 4, 2008 oleh darussalaf.or.id
Hadist pertama :

عن معقل بن يسار رضي الله عنه: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “قلب القرآن ((يس))، لا يقرؤها رجل يريد الله والدار الآخرة: إلا غفر الله له، اقرؤها على موتكم.”
Artinya : “Hati al Qur`aan adalah “Yaasin”, tidaklah membacanya seorang lelaki yang menginginkan Allah dan kehidupan akhirat; kecuali Allah Ta`aala akan memberikan ampunan baginya, bacakanlah “Yaasin” itu atas orang yang meninggal diantara kalian.”
Asy Syaikh al Albaaniy rahimahullah telah berkata : “Hadist ini dho`iif (lemah), diriwayatkan oleh: Ahmad, Abu Daawud, an Nasaaiiy dan lafadz ini bagi an Nasaaiiy , dan Ibnu Maajah, dan al Haakim dan dishohihkan olehnya.[1]
Hadist kedua :

“إن لكل شيء قلبا، وقلب القرآن ((يس))، ومن قرأ ((يس)): كتب الله له بقراءتها قراءة القرآن عشر مرات.”
Artinya : “Sesungguhnya bagi segala sesuatu ada hati, dan hati al Qur`aan adalah “Yaasin”, dan barang siapa membaca “Yaasin”: Allah Tabaaraka wa Ta`aala menuliskan baginya dengan bacaannya itu seperti membaca al Qur`aan sepuluh kali.”
Ada tambahan riwayat :
“دون ((يس)).”
“Tanpa disebutkan “Yaasin.” [2]
Berkata asy Syaikh al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala : Hadist ini Maudhuu` (palsu).
Berkata Abu `Iisaa (al Imam at Tirmidziy) : “Hadist ini hasan ghariib tidak kami ketahui kecuali hadist dari Humeiid bin `Abdurrahman, dan di Bashrah mereka tidak mengetahui dari hadist Qataadah kecuali dari jalan ini. Dan Haaruun Abu Muhammad seorang syaikh yang majhuul (tidak dikenal).
Berkata al Imam at Tirmidziy : telah menghadistkan kepada kami Abu Muusa Muhammad bin al Mutsanna; telah menghadistkan kepada kami Ahmad bin Sa`iid ad Daarimiy; telah menghadistkan kepada kami Qutaibah dari Humeid bin `Abdurrahman dengan hadist ini.
Hadist ketiga :

Dan pada bab ini juga dari jalan Abu Bakr as Shiddiiq, tidak shohih dari sisi sanadnya, isnadnya lemah. [3]
وعن جندب رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : “من قرأ ((يس)) في ليلة ابتغاء وجه الله: غفر له.”
Artinya : Dari Jundub radhiallahu `anhu berkata : berkata Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam : “Barang siapa yang membaca “Yaasin” pada malam hari mencari Wajah Allah, Allah Tabaaraka wa Ta`aala mengampuni dosanya.” [4]
Berkata asy Syaikh al Baaniy rahimahullahu `Ta`aala : Hadist ini dho`iif (lemah).
—————————————–

[1] Berkata asy Syaikh al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala: “Tidak terdapat disisi yang lainnya kecuali perintah untuk membacanya, kemudian disisi an Nasaaiiy di “al `Amal” dan lafadznya :
((ويس)) قلب…))

Isyaarah secara ringkas, secara sempurna riwayat ini terdapat di “al Musnad”, sedangkan dalam sanadnya terdapat para rawi yang majhuul dan juga sanadnya goncang, dan dikeluarkan juga di dalam : “ad Dho`iifah” no. (6843).
6843- ( “البقرة” سنام القرآن وذروته، ونزل مع كل آية منها ثمانون ملكا، واستخرجت ((الله لا إله إلا هو الحي القيوم)) من تحت العرش فوصلت بها-أو : فوصلت ب-سورة ((البقرة))، و((يس)) قلب القرآن، لا يقرؤها رجل يريد الله تبارك وتعالى والدار الآخرة، إلا غفر له، واقرؤوها على موتكم).
Artinya : “al Baqarah adalah puncak al Quraan dan yang tertinggi, dan turun bersama setiap ayat dari al Baqarah tersebut delapan puluh orang Malaikat, dan dikeluarkan ayat al Kursi dari bawah al `Arsy maka disambungkan dengan surah al Baqarah, dan Yasin adalah hati daripada al Quraan, tidaklah membacanya seorang lelaki yang menginginkan Allah Tabaaraka wa Ta`aala dan kehidupan akhirat; kecuali diampuni dia, dan bacakanlah Yasin itu atas orang mati.”
Asy Syaikh al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala berkata : Munkar. Dikeluarkan oleh Ahmad (5/26) : telah menghadistkan kepada kami `Aarim: telah menghadistkan kepada kami Mu`tamir dari bapaknya dari seorang lelaki dari bapaknya dari Ma`qil bin Yasaar marfuu`an.
Dan telah diriwayatkan juga oleh an Nasaaiiy di “`Amalul Yaum wal Lailah” (581/1075) dari jalan lain dari Mu`tamar; secara ringkas atas perkataan :
و ((يس)) …… إلخ.

Dan dikeluarkan oleh Abu Daawud dan Jamaa`ah bahagian terakhir darinya. Dan riwayat lain bagi Ahmad (5/27), dan an Nasaaiiy (1074), dari jalan Sulaimaan at Taimiy dari Abi `Utsmaan- bukan an Nahdiy- dari bapaknya dari Ma`qil bin Yasaar.
Berkata asy Syaikh al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala: “ini sanadnya dho`iif; dikarenakan tidak dikenalnya lelaki dan bapaknya dalam sanad ini, adapun perkataan al Haitsamiy di “al Majma`” (6/311): “telah meriwayatkan Ahmad, padanya ada seorang rawi tidak disebutkan namanya, sementara rawi rawi yang lainnya adalah rawi rawi shohih.”
Berkata asy Syaikh al Albaaniy : “padanya ada kelalaian…., dan yang benar dikatakan : “dua orang rawi yang tidak disebutkan nama mereka.”
Padanya ada kecacatan selain itu; yaitu : goncangnya sanad hadist ini; lihat kembali di “al Irwaa” (3/150-151) kalau kamu ingin, dan padanya : bahwa ad Daaruquthniy berkata : “Hadist ini dho`iiful isnad, majhuulul matan, tidak satupun hadist shohih dalam hal ini.”
Oleh karenanya; tidak baik sebenarnya al Mundziriy mendiaminya di “at Targhiib” (2/222/1) dan menampilkannya dengan kata kata : “`An”!, demikian juga asy Syaikh an Naajiy di “`Ujaalatuhu” (Q146/1), sekira kira disibukan bantahan terhadapnya; karena dia memuthlakkan penyandarannya terhadap an Nasaaiiy, sepantasnya bagi dia untuk mengikatkannya dengan “`Amalul Yaum wal Lailah.” (ad Dho`iifah 14/2/787-788 no.6843).
Diriwayat lain :

6844- (إني فرضت على أمتي قراءة ((يس)) كل ليلة، فمن داوم على قراءتها كل ليلة ثم مات، مات شهيدا).
Artinya : “Sesungguhnya saya telah mewajibkan atas ummat saya membaca surah Yasin setiap malam, maka barang siapa yang selalu membacanya setiap malam, kemudian dia maninggal, meninggalnya dalam keadaan syahiid.”
Berkata asy Syaikh al Albaaniy : Hadist ini Maudhuu` (palsu).
Diriwayatkan oleh Abu asy Syaikh di “as Tsawab”, dari jalannya asy Syaikh as Syajriy di “al Amaaliy” (1/118) berkata : telah menghadistkan pada kami Ibnu Abi `Aashim : telah menghadistkan pada kami `Umar bin Hafsh al Washaabiy : telah menghadistkan pada kami Sa`iid bin Muusaa : telah menghadistkan pada kami Rabaah bin Zaid dari Ma`mar dari az Zuhriy dari Anas marfuu`.
As Sayuuthiy menampilkan riwayat ini di “Dzeilul Ahaadiist al Maudhuu`ah” (hal.24) dari riwayat Abi asy Syaikh, kemudian beliau berkata : “Sa`iid rawi yang dituduh”. Diakui oleh Ibnu `Iraaq di “Tanziihus Syarii`ah” (1/267).
Dan dari jalan al Washaabiy disebutkan bahagian yang kedua darinya- “barang siapa mengamalkannya terus menerus….”- at Thobbaraaniy di “al Mu`jamus Shoghiir” (hal.210-Hindiyah), dari jalannya al Khathiib di “at Taariikh) (3/245), dan berkata at Thobbaraaniy : “menyendiri dengannya Sa`iid.” Berkata al Haitsamiy di “al Majma`” (7/97) : “diriwayatkan oleh at Thobbaraaniy di “as Shoghiir”, padanya ada Sa`iid bin Muusaa al Azdiy, dia pendusta.”
Baginya masih ada hadist hadist yang lain, maudhuu` (palsu) sangat jelas kepalsuannya, salah satunya di “as Sunnah” oleh Ibnu Abi `Aashim (1/305-306/696).
Telah lewat baginya hadist yang ketiga dengan no. 594. (ad Dho`iifah 14/2/789 no.6844).

[2] Asy Syaikh al Albaaniy berkata : “Tambahan ini tidak terdapat dalam sunan at Tirmidziy, tidak terdapat sedikitpun dari hadist hadist “Yaasin”, dan as Sayuuthiy telah menampilkan jumlah yang sangat banyak di “ad Durrul Mantsuur” (5/256-257), dan saya tidak mengetahui baginya ma`na disini, zhohirnya ini adalah lemah. Sedangkan ahli tahqiiq yang tiga orang menyandarkannya kepada at Tirmidziy di nomor (2887) dan membiarkannya demikian saja.
[3] Lihat : “Sunan at Tirmidziy (5/150).

[4] Berkata asy Syaikh al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala : hadist ini diriwayatkan oleh Maalik dan Ibnu as Sunniy dan Ibnu Hibban di “shohihnya”, (6/312 no.2574 pent.), at Thobaraaniy di “al Mu`jamus Shoghiir” (1/149) dan “al Ausath” (4/21 no.3509 pent).
Kemudian berkata as Syaikh al Albaaniy : padanya ada `an`anah al Hasan al Bashriy, sedangkan pengembaliannya kepada Ibnu as Sunniy salah atau tidak disengaja, sesungguhnya disisinya no.(668) dari jalan al Hasan dari Abi Hurairah radhiallahu `anhu! Hadist ini juga dikeluarkan oleh beliau di dalam “ad Dho`iifah” (14/293-296 no.6623); dan berkata beliau : diriwayatkan dari hadist Abi Hurairah dan Jundub bin `Abdullah dan `Abdullah bin Mas`uud dan Ma`qil bin Yasaar al Muzaniy radhiallahu `anhum.
1. Adapun hadist Abi Hurairah : ini yang paling masyhuur; dikeluarkan oleh ad Daarimiy (2/457), at Thoyaalisiy (2/23 no.1970), Ibnu as Sunniy (217/268), al `Uqailiy di “ad Dhu`afaa” (1/203), Abu Ya`laa (11/93-94), Ibnu `Adiy (1/416 dan 2/299), at Thobaraaniy di “al Mu`jamus Shoghiir” (hal.82 Hindi), di “al Ausath” (4/304/3533), Abu Nu`eiim di “al Hilyah” (2/159) dan di “Akhbaaru Ashbahaan” (1/252), al Baihaqiy di “asy Syu`abu” (2/480/2462-2464), al Khathiib di “at Taarikh” (3/253), Ibnul Jauziy di “al Maudhuu`aat” (1/247) dari berbagai jalan dari al Hasan dari Abi Hurairah marfuu`an. Dan berkata Abu Nu`eiim : “Hadist ini telah meriwayatkannya dari al Hasan segolongan dari kalangan at Taabi`iin diantara mereka Yuunus bin `Ubeid dan Muhammad bin Juhaadah.”
Berkata asy Syaikh al Albaaniy : “Dan yang paling terkuat sanad diantara keduanya ialah yang kedua, sampai sampai as Sayuuthiy berkata di “al Lalaaliy” (1/235) : “sanad hadist ini atas syarat (as Shohih).”
Kemudian beliau mengatakan : “Sebenarnya memang demikian; kalaulah bukan al Hasan- dia adalah al Bashriy- yang dikenal dengan “tadliis”, dan diperselisihkan tentang mendengarnya dia dari Abu Hurairah radhiallahu `anhu, sebagaimana yang telah diceritakan oleh at Thobaraaniy setelah menampilkan hadist ini beliau berkata : “Sungguh dikatakan : sesungguhnya al Hasan tidak mendengar dari Abi Hurairah radhiallahu `anhu, dan berkata sebahagian ahli `Ilmu : bahwa sungguh sungguh dia telah mendengar darinya.”
Sedangkan yang telah ditetapkan oleh al Haafidz di dalam “at Tahdziib” bahwa dia telah mendengar darinya sebahagian; akan tetapi ini tidak ada mamfa`atnya bagi seorang rawi yang “mudallis” sampai dia betul betul menshorehkan bahwa dia telah mendengar yang tidak akan menimbulkan penafsiran yang lainnya lagi.”
Kata asy Syaikh al Baaniy : “Betul; diriwayat Abu Ya`laa perkataannya : “Saya telah mendengar Aba Hurairah”; akan tetapi rawi yang meriwayatkan darinya (dari al Hasan) Hisyaam bin Ziyaad- dia : Abul Miqdaam al Madaniy; dia rawi “matruuk” (ditinggalkan)- sebagaimana yang telah dikatakan oleh an Nasaaiiy dan adz Dzahaabiy dan al `Atsqalaaniy-, yang jelas keadaannya tersembunyi bagi al Haafidz Ibnu Katsiir; maka beliau berkata di “at Tafsiir” (3/563) : “sanad hadist ini jaiyid (baik).
2. Adapun hadist Jundub bin `Abdillah : telah meriwayatkannya Muhammad bin Juhaadah dari al Hasan dari Jundub.”
Dikeluarkan oleh Ibnu Hibbaan (665-mawaarid).
`Illah(cacat)nya sama seperti yang telah dijelaskan di atas, Cuma ditambahkan padanya perselisihan pada Muhammad bin Juhaadah dalam sanadnya, kemudian pada al Hasan itu sendiri
3. Adapun hadist Ibnu Mas`uud radhiallahu `anhu : meriwayatkannya Abu Maryam dari `Amr bin Murrah dari al Haarits bin Suweid dari Ibnu Mas`uud.
Dikeluarkan oleh Abu Nu`eiim (4/130) dan berkata beliau : “Hadist ghariib (dho`iif/lemah), tidak meriwayatkannya dari `Amr kecuali Abu Maryam-dia adalah: `Abdul Ghaffaar bin al Qaasim-: kuufiyun dalam hadistnya liin (kelemahan).”
Berkata asy Syaikh al Albaaniy : “Bahkan itu saja, lebih jelek dari itu; sungguh telah berkata tentangnya Ibnul Madiiniy dan Abu Daawud : “Dia pemalsu hadist.”
4. Dan adapun hadist Ma`qil bin Yasaar : meriwayatkannya Muslim bin Ibraahim bin `Abdillah : telah menghadistkan kepada kami Abu `Umar ad Dhariir : telah menghadistkan kepada kami al Mu`tamar bin Sulaimaan dari bapaknya dari seorang lelaki dari Ma`qil.
Dikeluarkan oleh al Baihaqiy (2458).
Berkata asy Syaikh al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala : “Sanad hadist ini gelap; Muslim bin Ibraahim `Abdillah : saya tidak mengenalnya, dan lelaki yang disebutkan dalam sanad hadist ini : majhuul (tidak dikenal), tidak disebutkan namanya, dan saya kira dia adalah : (Abu `Utsmaan-bukan an Nahdiy); sesungguhnya telah meriwayatkan al Mu`tamar bin Sulaimaan dari bapaknya dari Ma`qil hadist yang lain tentang keutamaan ((Yaasin)), hadist ini telah saya keluarkan dalam kitab : “al Irwaa” (3/150-151) dan “al Misykaah” (1622), dan Abu `Utsmaan rawi yang tidak dikenal,- dia bukan an Nahdiy rawi yang terpecaya.”
Kesimpulan : Tidak terdapat pada jalan jalan hadist ini apa apa yang memungkinkan untuk diberikan padanya satu hal menguatkannya, sungguh telah diisyaratkan tentang demikian oleh al `Uqailiy dengan perkataannya setelah menampilkan hadist ini : “Dan riwayat pada matan seperti ini lemah”. Dan berkata ad Daaruquthniy : “Hadist ini sesungguhnya telah diriwayatkan secara marfuu` dan mauquuf, dan tidak satupun yang shohih”. Telah menuqilnya Ibnul Jauziy.
Sesungguhnya telah diriwayatkan hadist ini dengan lafazh-lafazh yang lain pada sebahagiannya munkar yang bersangatan; bahkan sungguh bekas pemalsuan atasnya jelas sekali, dan telah terdahulu sebahagiannya dengan nomor : (169, 4634).

Peringatan : al Haafidz al Mundziriy telah menyandarkan hadist ini didua tempat di “at Targhiib” (2/222,257) kepada Ibnu as Sunniy dan Ibnu Hibbaan di “shohihnya” dari Jundub bin `Abdullah. Tidak ada sebenarnya disisi Ibnu as Sunniy kecuali hadist Abu Hurairah radhiallahu `anhu; seolah olah dia menggiringkan hadist Jundub kepadanya! Dan ini merupakan sikap bermudah mudah yang tidak disenangi padanya. Dan juga beliau menyandarkannya ditempat yang pertama kepada Maalik. Mudah mudahan saja ketegelinciran pena, atau tambahan pada sebahagian munuskrip; sesungguhnya saya tidak menemukannya di “al Muwattho`”- Inilah tujuan penyandaran secara muthlaq kepadanya- dengan mencari bantuan atas demikian itu dengan membuka daftar daftar pembahasan pada hari ini, apakah yang khusus atau yang lebih umum. (“Silsilatul Ahaadiist ad Dho`iifah wal Maudhuu`ah” 14/1/293-296 no.6623), karya al Imam al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala.Sumber : Buletin Jum’at Ta’zhim As-Sunnah Edisi XI Sya’ban 1428 H


http://darussalaf.org/stories.php?id=1038
http://www.tazhim-assunnah.co.nr/
DIarsipkan di bawah: Fiqih

Sabtu, 27 September 2008

shalat sunnah qabliyah

Menyoal Shalat Sunnah Qobliyah Jum’at
Sabtu, 29-Maret-2008, Penulis: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah
Ibadah merupakan suatu perkara yang sangat urgen dalam kehidupan seorang muslim, sebab jika seseorang melazimi suatu ibadah, itu menunjukkan adanya alamat dan tanda kebaikan pada dirinya. Namun yang sangat perlu diperhatikan dalam ibadah ada dua perkara. Dua perkara ini merupakan syarat terpenuhinya dan terkabulnya ibadah seseorang di hadapan Allah -Azza wa Jalla-, yaitu:
Pertama : Mengikhlaskan (Mengkhususkan) Ibadah Hanya kepada Allah
Jika seorang ingin diterima amalnya di sisi Allah, maka ia harus mengikhlaskan amalnya dari noda-noda syirik dengan mengharapkan pahala kepada Allah dalam beribadah kepada-Nya saja. Namun jika ia menodainya dengan riya’ (mau dipuji dan diperhatikan), maka ia terkena firman Allah -Ta`ala-,
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan orang-orang sebelum kamu: Apabila kamu berbuat syirik(tidak ikhlas), maka amalanmu benar-benar akan hilang dan akan menjadi orang-orang yang merugi.Bahkan sembahlah Allah saja, dan menjadilah orang-orang yang bersyukur”. (QS.Az-Zumar : 65-66)
Allah -Ta`ala- berfirman:
“Sembahlah Allah,dan janganlah kalian memperserikatkan sesuatu dengan-Nya”. (QS. An-Nisaa’: 36)
Syaikh Al-AllamahAbdur Rahman bin Hasan Alusy-Syaikh -rahimahullah- berkatadalam mengomentari ayat di atas, ”Ayat ini menerangkan tentang ibadah yang mereka diciptakan karenanya. Sungguh Allah -Ta`ala- menggandengkan perintah ibadah yang diwajibkan dengan larangan berbuat syirik yang telah diharamkan,yaitu kesyirikan dalam beribadah. Maka ayat ini menunjukkan bahwa menjauhi kesyirikan merupakan syarat sahnya suatu ibadah. Maka pada asalnya,tidaklah sah suatu ibadah tanpa adanya syarat tersebut”. [Lihat Fathul Majid (hal.24), cet. Darus Salam]
Kedua : Mutaba`ah (Mengikuti) Sunnah Rosululloh Shallallahu 'Alaihi Wasallam
badah yang dilakukan oleh seorang muslim, selain harus ikhlas, juga harus mutaba’ah (mengikuti) sunnah Nabi Shollallahu alaihi wa sallam-. Jika sekedar ikhlas, namun tidak mengikuti sunnah, maka ibadah itu tertolak. Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengadakan suatu perkara (baru) dalam urusan (agama) kami ini yang bukan termasuk darinya,maka perkara itu tertolak”. [HR. Al-Bukhory dalam Ash- Shohih (2697)]
Al-Imam Ibnu Daqiq Al-Ied-rahimahullah- berkata,“Hadits ini merupakan kaidah yang sangat agung diantara kaidah-kaidah agama. Dia termasuk "Jawami’ Al-Kalim"
(Ucapan yang ringkas, padat maknanya) yang diberikan kepada Al-Mushthofa -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, karena hadits ini jelas sekali dalam menolak segala bentuk bid`ah dan perkara-perkara baru”.[Lihat Syarah Al-Arba`in An-Nawawiyah (hal.43), Cet.Dar Ibnu Hazm]
Jadi, seorang muslim yang memiliki perhatian terhadap segala amalan dan ibadahnya, akan senantiasa menjaga dua perkara tersebut, yaitu mengikhlashkan ibadahnya semata kepada Allah Robbul alamin dan mutaba`ah (mengikuti) sunnah Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- . Dengan ini, dia akan selalu berusaha mengilmui dan mengetahui sejauh mana tingkat keikhlasan dan mutaba`ah-nya kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-.

Artinya, ia selalu mengilmui suatu amalan ibadahnya sebelum ia mengerjakannya, apakah ikhlas dan sudah cocok dengan sunnah Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-. Bukan hanya sekedar mengerjakan suatu ibadah, tanpa berusaha lebih dahulu untuk mengilmuinya !! \
Betapa banyak orang yang mengerjakan ibadah -sedangkan ia tidak memiliki ilmu tentang ibadah tersebut- lalu ia menyangka bahwa dirinya telah memperoleh pahala di sisi Allah -Ta’ala-, padahal ia tidak mendapatkan sesuatu apapun di sisi-Nya, kecuali penyesalan.
Dirinya laksana orang kehausan melihat fatamorgana disangkanya air, bisa menghilangkan dahaganya. Ternyata setelah ia menghampirinya, tiada lain kecuali bayangan semu yang tiada artinya. Oleh karena itu, diantara ciri khas Ahlis Sunnah adalah menggabungkan antara ilmu dan ibadah. Yaitu mereka tidak mengerjakan suatu ibadah, kecuali setelah mereka mengetahui dan megilmui urusan ibadah tersebut.
Syaikh Muhammad ibnu Ibrohim Al-Hamed -hafizhohullah- berkata, “Diantara ciri khas Ahlis Sunnah, (mereka) menggabungkan antara ilmu dan ibadah. Berbeda dengan kelompok diluar mereka, adakalanya mereka sibuk ibadah, akan tetapi melalaikan ilmu; atau adakalanya sibuk dengan ilmu, akan tetapi lalai beribadah . Adapun Ahlis Sunnah wal Jama`ah, mereka itu menggabungkan antara dua perkara tersebut”.[Lihat Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama`ah (hal.46), Cet Dar Ibnu Khuzaimah]
Jalan dan manhaj beginilah yang seyogyanya ditempuh oleh setiap muslim;
selain ia beribadah, ia juga menyibukkan dan menghiasi dirinya dengan ilmu yang bermanfaat dari Al-Kitab dan Sunnah berdasarkan bimbingan para salaf. Jangan seperti sebagian orang jahil yang sibuk dengan ibadah, namun ibadahnya tidak dilandasi dengan ilmu, bahkan berdasarkan perasaan dan taqlid buta kepada sebagian orang yang dianggap berilmu alias kiyai !!
Ini banyak terjadi di kalangan para ahli ibadah dan orang-orang sufi. Ibnul Jauzy -rahimahullah- berkata, ”Diantara tipu daya iblis atas orang-orang zuhud, mereka meremehkan dan mencela para ulama`.Mereka mengatakan, "Tujuan yang paling utama sebenarnya adalah beramal". Mereka ini tidak memahami bahwa ilmu itulah pelita hati.” [Lihat Al Muntaqo An-Nafis min Talbis Iblis (hal.204) karya Syaikh Ali bin Hasan Al-Halaby As-Salafy,Cet 3 Dar Ibnil Jauzy 1419H ]
Diantara fenomena seperti ini, yaitu beribadah, tanpa dasar ilmu, apa yang dilakukan oleh sebagian orang pada hari ini saat mereka menghadiri shalat jum’at, maka kita akan menyaksikan mereka melaksanakan 2 raka’at qobliyyah jum’at,
selain shalat sunnat tahiyatul masjid. Ketika mu’adzdzin berkumandang pada adzan pertama atau kedua, ada sebagian orang bangkit dengan keyakinan ia akan melaksanakan shalat 2 raka’at qobliyyah jum’at.
Padahal semua itu tak ada asalnya dalam sunnah. Karenanya, para ulama’ kita berikut ini mengingkari hal ini:
Al-Hafizh Abu Syamah Abdur Rahman bin Isma’il Al-Maqdisiy -rahimahullah- berkata, “

Ini-yakni hadits Ibnu Umar-merupakan dalil yang membuktikan bahwa jum’at menurut mereka bukan zhuhur. Kalaulah tidak demikian, maka beliau-Ibnu Umar- tak perlu menyebutkan jum’at, karena sudah masuk definisi zhuhur. Kemudian tatkala beliau tidak menyebutkan shalat sunnah qobliyah jumat, hanya ba`diyahnya saja, maka ini membuktikan bahwa tak ada shalat sunnah qobliyah jumat”. [Lihat Al-Ba`its ala Inkaril Bida wal Hawadits ( hal.159)]
Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim Al Harrony -rahimahullah- berkata, ”Oleh karena ini, jumhur ulama sepakat tidak adanya shalat sunnah yang ditentukan waktu dan bilangannya. Karena semua itu harus ditetapkan berdasarkan sabda dan perbuatan Nabi -Shollallahu Alaihi Wasallam-. Beliau tak pernah menetapkan sunnahnya hal itu (sunnah qobliyyah Jum’at), baik berdasarkan ucapan ataupun perbuatan beliau.Inilah madzhab Malik, Asy Syafi’i, dan sebagian besar pengikutnya serta pendapat yang masyhur dalam madzhab Ahmad”. [Lihat Majmu’ Fatawa (1/136), dan Majmu’ah Ar Rosa’il Al Kubro (2/167-168)]
Al-Allamah Abdur Rahim Ibnul Husain Al-Iroqy Al-Atsariy -rahimahullah- berkata, “Saya belum pernah menjumpai di dalam pendapat para fuqoha` dari kalangan madzhad Hanafi, Maliki , dan Hanbali adanya sunnah qobliyah jumat. Yang lain berpendapat adanya qobliyah jumat, diantaranya An-Nawawy”. [Lihat Thorh At-Tatsrib (3/41)]
Syaikh Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Abdus Salam Asy-Syuqoiriy -rahimahullah- berkata, “Sesungguhnya pada asalnya, tak ada dalil yang menunjukkan shalat sunnah rowatib qobliyyah Jum’at. Paling tinggi yang ada pada mereka adalah qiyas yang tertolak tersebut. Dia (Fairuz Abadiy) berkata dalam Safar As-Sa’adah, “Dulu Bilal apabila selesai adzan, maka Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- mulai berkhutbah, dan tak ada seorangpun yang bangkit melaksanakan shalat sunnah. Sebagian ulama’ berpendapat tentang shalat sunnah qobliyyah Jum’at dengan mengqiyaskannya dengan shalat Zhuhur. Penetapan shalat sunnah berdasarkan qiyas merupakan perkara yang tidak boleh.
Para ulama’ yang memiliki perhatian dengan sunnah, mereka tidaklah meriwayatkan sesuatu apapun tentang shalat sunnah qobliyyah Jum’at”.”. [Lihat As-Sunan wa Al-Mubtada’at (hal.161), cet. Dar Ar-Royyan]
Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’
(Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa) di sebuah negeri Timur Tengah mengeluarkan fatwa tentang tidak adanya shalat qobliyyah jum’at, “Shalat Jum’at tidak memiliki shalat sunnah qobliyyah dan tidak ada dari Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- (sepanjang pengetahuan kami) sesuatu yang menunjukkan tentang disyari’atkannya. Adapun hadits Ibnu Mas’ud, maka ia diriwayatkan oleh At-Tirmidziy secara mu’allaq dengan bentuk “tamridh”(istilah lemahnya hadits, pen), dan mauquf (terhenti) pada Ibnu Mas’ud. Dinukil dalam Kitab Tuhfah Al-Ahwadziy
(3/79- cet. Dar Ihya’ At-Turots Arobiy, pen) dari Al-Hafizh, bahwa Abdur Rozzaq dan Ath-Thobroniy telah mengeluarkan hadits ini secara marfu’, sedang pada sanadnya terdapat kelemahan dan keterputusan.
Hadits sejenis ini tidak bisa dijadikan hujjah. Adapun hadits Abu Hurairah tentang perkara Sulaik, maka haditsnya shohih. Akan tetapi, hadits itu dalam perkara tahiyyatul masjid, bukan sunnah qobliyyah Jum’at. Adapun hadits, “Diantara dua adzan ada shalat”,
maka ini tidak cocok pada shalat Jum’at, karena Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- dulu memulai dengan khutbah, setelah usai adzan.
Tidak boleh melaksanakan shalat sunnah, sedang imam berkhutbah, kecuali tahiyyatul masjid. Adapun qiyas, maka itu terlarang dalam ibadah-ibadah, karena ibadah terbangun di atas tauqif (penetapan berdasarkan dalil). Kemudian, ia merupakan “qiyas ma’al fariq”(qiyas batil). Akan tetapi bagi orang yang datang ke masjid untuk shalat Jum’at, disyari’atkan untuk shalat (sunnah muthlaq,pen) sebagaimana yang telah ditetapkan (ditaqdirkan) baginya, tanpa ada pembatasan dengan bilangan tertentu, karena shohihnya hadits-hadits dalam perkara itu”.[Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (8/260-261) (no. fatwa:7798), kumpulan Syaikh Ahmad bin Abdur Razzaq Ad-Duwaisy, cet. Dar Balansia, 1421 H. Lajnah ketika itu beranggotakan:
Syaikh Abdul Aziz bin Baz (ketua), Abdur Razzaq ‘Afifi (wakil), dan
Abdullah Al-Ghudayyan (anggota)]
Muhaddits Negeri Syam, Syaikh Abu Abdir Rahman Muhammad Nashiruddin Al-Albany -rahimahullah- berkata ketika mengomentari ucapan Al-Iroqy di atas, “Karenanya shalat sunnah ini tidak tersebut dalam kitab Al-Umm karya Al-Imam Asy-Syafi’i, tidak juga dalam kitab-kitab Al-Masa’il yang berisi pertanyaan kepada Imam Ahmad, ataupun ulama-ulama mutaqoddimin selain mereka berdasarkan pengetahuan saya.Karena ini saya katakan, "Sesungguhnya orang-orang yang mengerjakan shalat sunnah ini, bukanlah Rosulullah -Shollallahu alaihi wasallam- yang mereka ikuti,
dan bukan pula para ulama yang mereka taklidi, bahkan mereka taklid kepada orang-orang mutakhirin, bukan mujtahidin, sama-sama bertaklid.
Maka sungguh heran orang-orang bertaklid mengikuti sesamanya”.[Lihat Al-Ajwibah An-Nafi’ah (hal.32)]
Syaikh Masyhur Hasan Salman-hafizhohullah- berkata, “Berangkat dari pembahasan sebelumnya, maka jelaslah bagi anda kekeliruan orang-orang yang mengerjakan shalat sunnah antara dua adzan di hari jumat, baik itu dua rokaat, empat rakaat, dan seterusnya, karena meyakini bahwa itu merupakan shalat sunnah qobliyah jumat -seperti halnya mereka melaksanakan shalat qobliyah zhuhur- dan mereka meniatkan dalam hati mereka bahwa itu adalah shalat qobliyah Jum’at.!!
Sesungguhnya nas-nas sangat gamblang menjelaskan bahwa yang benar adalah Jumat itu tak ada shalat sunnah qobliyahnya dan tak ada lagi setelah kebenaran itu kecuali kesesatan…”.[Lihat Al-Qoul Al-Mubin (hal.361)]
Setelah kita mendengarkan fatwa-fatwa para ulama’ di atas, maka kita mengetahui bahwa tak ada tuntunannya seorang muslim melakukan shalat sunnah 2 raka’at qobliyyah jum’at. Namun jika seorang masuk ke masjid, boleh baginya shalat 2 raka’at walaupun sebelum dan sesudah adzan jum’at atau khotib sedang khutbah. Tapi tentunya ini bukan shalat qobliyah jum’at, tapi disebut "shalat tahiyyatul masjid". Demikian pula disyari’atkan shalat sebanyak-banyaknya sebelum datangnya naik mimbar, tanpa terbatas dan terikat dengan bilangan tertentu. Ini yang disebut "shalat sunnat muthlaq", bukan shalat Sunnah qobliyah jum’at !!
Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 57 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus

Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc.
Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp) http://almakassari.com/?p=244